Tuesday 6 October 2009

Ketika Alam Menghamili Padi (catatan putra Bali)


Minggu ini saya akan pergi ke Bali—ke Ubud, tepatnya. Tempat di mana sawah menjadi bagian inheren dari pariwisata. Penginapan tempat saya biasa menginap juga dikelilingi sawah, yang jaraknya hanya sekian langkah dari teras kamar.

Terakhir kali ke sana, saya sempat menontoni seorang bapak tua membajak sawah dengan bajakan sederhana yang harus ia tarik mengelilingi sawah. Jangankan mesin, pakai bantuan kerbau pun tidak. Sesekali, ia menggemburkan tanah dengan kakinya sendiri.

Sambil sarapan pagi, saya membatin dalam hati: “Kapan pertanian Indonesia bisa maju kalau begini caranya?” Sementara pertanian di Amerika sudah hampir seluruhnya dioperasikan mesin, bapak tua itu masih membajak tanah dengan cara yang barangkali sama dengan para petani seratus tahun lalu. Memandangnya bergerak lamban menyusuri lumpur seolah menyaksikan artefak kuno diarak di Silicon Valley. Sungguh ironis, pikir saya waktu itu.

*klik tautan di bawah ini untuk membaca selengkapnya





Saat check-out, perhatian saya tiba-tiba tertumbuk pada satu kata yang tak pernah saya perhatikan, meski saya melihatnya setiap hari, yakni nama hotel tempat saya menginap: “Biyukukung”. Dan saya tergerak untuk bertanya pada sopir hotel, “Beli, Biyukukung artinya apa?” Dia lantas menjelaskan, Biyukukung adalah nama upacara yang dilakukan saat padi “hamil”. Saya spontan tertawa geli. Baru kali itu saya mendengar kata “hamil” diperuntukkan buat padi.

Namun, entah kenapa, konsep padi hamil itu terus mengusik pikiran saya. Setibanya di rumah, saya melakukan riset kecil-kecilan. Dalam sebuah jurnal tentang sistem Subak, yang waktu zaman sekolah dulu saya kenal sebagai sistem irigasi sawah di Bali, saya terhanyut dan tercengang melihat begitu sakralnya sistem pertanian tradisional Bali. Subak bukan semata-mata mekanisme irigasi, bukan sekadar alat tekno-sosial, melainkan pemahaman dasar para petani Bali bahwa pertanian merupakan satu entitas tersendiri yang terajut dengan ekosistem dan spiritualitas. Petani di daerah tertentu akan menyesuaikan perilaku bertaninya bukan hanya berdasarkan kondisi tanah dan air di tempat itu saja, tapi dengan seluruh elemen alam, termasuk nilai religi masyarakat setempat dan Tuhan.

Sekurangnya ada 27 nama upacara yang saya temukan, dari mulai untuk penyemaian benih, menyiangi, pengangkutan, penyimpanan, sampai pengeringan. Setiap upacara berkorespondensi dengan Dewa tertentu (sebagai manifestasi yg esa) yang disesuaikan dengan tujuan dan keberhasilan fase demi fase. Pada fase Biyukukung, misalnya, para petani berdoa kepada Bhatara Surya untuk restu dan perlindungan. Pada fase pengeringan, atau Nedunang Pari, mereka minta restu pada Bhatari Sri untuk proses akhir dari padi mereka. Sebelum dikenal pestisida dan insektisida, hama diusir hanya dengan mantra dan sesajen. Setiap hama memiliki mantra dan sesajennya sendiri; mantra penanganan hama tikus lain dengan mantra mengusir monyet, dan seterusnya.

Penjelasan tentang Subak membuat saya berpikir ulang tentang kesimpulan saya saat menontoni bapak tua di sawah itu. Selama ini kita begitu mengagungkan pertanian modern karena kecepatan dan keberlimpahannya dalam memenuhi kebutuhan manusia. Namun dalam kecepatan itu, kita memutus hubungan sakral kita dengan alam. Tanah hanya tanah. Bibit ya cuma bibit. Padi ya hanya padi. Semuanya adalah alat yang melayani kebutuhan manusia, yang bisa dikendalikan dengan teknis dan mekanis.

Saat kita berbicara soal intensifikasi pertanian, yang kita bicarakan adalah seberapa besar lahan gambut yang bisa disulap jadi subur, seberapa besar volume panen bisa kita genjot, seberapa banyak padi yang bisa kita timbun. Dan dalam prosesnya, entah berapa juta ton racun yang kita kirim ke tanah, dari mulai pupuk kimia hingga pestisida, demi kemakmuran umat manusia. Saat pertanian menjadi masalah mekanis, kita lupa bersimpuh pada alam yang melimpahkan begitu banyak bagi kita secara cuma-cuma. Kita tidak lagi memaknai makanan di piring kita sebagai wujud karya persetubuhan matahari dan air, yang benihnya kemudian bersemayam dalam rahim tanah, tumbuh dan mengandung, untuk kelak kembali ke tanah, menunggu persetubuhan berikutnya antara matahari dan air. Kita lupa bahwa padi pun “hamil”.

Suku Indian di Benua Amerika sangat sohor karena hubungan mereka yang luar biasa dengan alam. Mereka begitu peka, tak cuma pada binatang, tapi juga tumbuhan. Seorang shaman akan pergi hutan untuk mencari obat. Ia tak tahu persis tanaman mana yang bisa berguna untuk kebutuhannya. Ia hanya menunggu tanaman tertentu “berbicara” padanya. Dan sebelum ia petik tanaman tersebut, ia masih menunggu tanaman itu memberi tanda terlebih dulu, mengungkapkan kesiapannya untuk dicabut. Dan sesudah itu, ia berterima kasih pada roh yang bersemayam dalam tanaman itu atas kerelaannya menolong manusia.

Cerita-cerita semacam itu menjadi dongeng bagi manusia modern. Termasuk 27 upacara menanam padi. Petani semi modern di Bali sudah tidak lagi mengandalkan mantra dan sesajen secara eksklusif untuk mengusir hama, mereka kini sudah mencampurnya dengan obat-obatan kimia. Yang bukan petani lebih-lebih lagi, kita bahkan tak tahu betapa beras merupakan bahan makanan pokok yang paling repot untuk diproduksi. Saat kita pergi ke pasar, melihat berkarung-karung beras siap ditimbang dan dibawa pulang… saat kita masak, melihat nasi putih panas yang masih mengepul dalam dandang… saat kita makan, mencampurkan nasi dengan berbagai macam lauk… semua ini menjadi adegan-adegan biasa yang kita jalani setiap harinya tanpa pernah ingat lagi perjalanan Sang Padi.

Mengingat itu semua, saya kembali berpikir ulang. Apakah intensifikasi pertanian satu-satunya jawaban dari kemelut pangan? Mungkinkah kita bergerak lebih dalam dari itu dan melihat bahwa ada yang hilang dalam relasi manusia dengan alam? Dan jika kita pulihkan harmoni itu, mungkinkah kita melihat hidup dengan cara yang sama sekali berbeda? Kita akan berpikir ulang sebelum membuang nasi, sebelum menyajikan makanan secara berlebihan, sebelum makan demi pemuasan dan bukan lagi kebutuhan. Dan upaya kita bukan lagi berdasarkan takut kurang, atau takut dimarahi pihak tertentu, melainkan karena kita memahami dan menghargai alam selayaknya sebuah entitas, bukan alat.

Tidak semua dari kita tahu dan mau tahu soal mantra dan sesajen. Namun saya percaya, alam punya intelijensi luar biasa yang mampu memahami niat dan isi hati kita tanpa batasan bahasa dan cara. Maukah kita mencoba, mensyukuri berkah yang kita lupakan ini, bukan dengan doa yang diucap sembarang karena refleks, tapi dengan setiap kata yang dihayati? Memandang nasi yang kita makan hari ini bak kumpulan mutiara—putih, dan berharga. Memandang mereka sebagai anak-anak hasil perkawinan alam yang telah dilimpahkan pada piring kita, sehingga menjadi gugus-gugus yang membangun tubuh dan jiwa kita.

Saya akan kembali ke Ubud dan melihat sawah di depan teras kamar saya nanti dengan pandangan yang berbeda. Dengan kata dan cara saya sendiri, saya ingin menyempatkan berdoa sederhana: untuk semua padi yang telah hamil demi saya makan, sejak saya di kandungan hingga saya kelak kembali menjadi abu, saya ucapkan terima kasih. Kalian telah menjadi bagian hidup saya, sebagaimana saya pun bagian dari kalian. Maafkan jika saya sering lupa kebenaran itu. Tapi saya percaya, dengan kata dan cara kalian sendiri, kalian tak pernah lelah mengingatkan saya.

* Foto sawah Ubud diambil dari highwaybali. com

No comments:

Post a Comment