Wednesday 22 April 2009

Surat Cinta Minimalis


Beberapa waktu lalu, saya mendapat e-mail dari seorang teman. Dia mengirim cerita yang diambil dari blog temannya. Ceritanya sangat menggugah. Saya merasa perlu berbagi cerita tersebut di blog ini:
Setiap kali ada teman yang mau menikah, saya selalu mengajukan pertanyaan yang sama: "Kenapa kamu memilih dia sebagai suamimu (atau istrimu)?" Jawabannya sangat beragam. Dari mulai jawaban karena Allah, hingga jawaban duniawi: cakep atau tajir. Manusiawi memang.

Tapi ada satu jawaban yang sangat berkesan di hati saya. Hingga detik ini, saya masih ingat setiap detail percakapannya. Jawaban salah seorang teman yang baru saja menikah. Proses menuju pernikahannya sungguh ajaib. Mereka hanya berkenalan dua bulan, lalu memutuskan menikah. Persiapan pernikahan hanya dilakukan dalam waktu sebulan saja. Kalau dia seorang akhwat, saya tidak akan heran. Proses pernikahan seperti ini sudah lazim. Tapi dia bukanlah akhwat, sama seperti saya. Satu hal yang pasti, dia tipe wanita yang sangat berhati-hati dalam memilih suami. Trauma dikhianati lelaki, membuat dirinya sulit untuk membuka diri.

Ketika dia memberitahu akan menikah, saya tidak menanggapinya dengan serius. Mereka berdua baru kenal sebulan. Tapi saya berdoa, semoga ucapannya menjadi kenyataan. Saya tidak ingin melihatnya menangis lagi. Sebulan kemudian dia menemui saya. Dia menyebutkan tanggal pernikahannya, serta memohon saya untuk cuti agar bisa menemaninya selama proses pernikahan.

*klik tautan di bawah ini untuk membaca selengkapnya





Begitu banyak pertanyaan di kepala saya. Asli. Saya ingin tahu, kenapa dia begitu mudahnya menerima lelaki itu. Ada apakah gerangan? Tentu suatu hal yang istimewa, hingga dia bisa memutuskan menikah secepat ini. Tapi sayang, saya sedang sibuk sekali waktu itu (sok sibuk sih aslinya). Saya tidak bisa membantunya mempersiapkan pernikahan.

Beberapa kali dia telepon saya untuk meminta pendapat tentang beberapa hal. Beberapa kali saya telepon dia untuk menanyakan perkembangan persiapan pernikahannya. That's all. Kita tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Saya mengambil cuti sejak H-2 pernikahannya. Selama cuti itu, saya memutuskan untuk menginap di rumahnya.
Jam 11 malam H-1, kami baru bisa ngobrol hanya berdua. Hiruk pikuk persiapan akad nikah besok pagi, sungguh membelenggu kami. Padahal rencananya, kami ingin ngobrol tentang banyak hal. Akhirnya, bisa juga kami ngobrol berdua. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Dia juga ingin bercerita banyak pada saya. Beberapa kali Mamanya mengetok pintu, meminta kami tidur.

"Aku gak bisa tidur," katanya. Dia memandang saya dengan wajah memelas. Saya paham kondisinya saat itu.
"Lampunya dimatiin aja, biar dikira kita dah tidur."
"Iya.. ya."

Dia mematikan lampu neon kamar dan menggantinya dengan lampu kamar yang temaram. Kami melanjutkan ngobrol sambil berbisik-bisik. Suatu hal yang sudah lama sekali tidak kita lakukan. Kita berbicara banyak hal, tentang masa lalu dan impian-impian kita. Wajah sumringahnya terlihat jelas dalam keremangan kamar, memunculkan aura cinta yang menerangi kamar saat itu. Hingga akhirnya terlontar juga sebuah pertanyaan yang selama ini saya pendam: "Kenapa kamu memilih dia?"

Dia tersenyum simpul, lalu bangkit dari tidurnya sambil meraih HP di bawah bantalku. Perlahan dia membuka laci meja riasnya. Dengan bantuan nyala LCD HP, dia mengais lembaran kertas di dalamnya. Perlahan dia menutup laci kembali, lalu menyerahkan selembar amplop pada saya. Saya menerima HP dari tangannya. Amplop putih panjang dengan kop surat perusahaan tempat calon suaminya bekerja.
"Apaan sih?" saya memandangnya tak mengerti. Eeh, dianya malah ngikik geli.
"Buka aja," jawabnya.

Sebuah kertas saya tarik keluar. Kertas polos ukuran A4. Saya menebak warnanya pasti putih. Saya membaca satu kalimat di atas di deretan paling atas.
"Busyet dah nih orang," saya menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan senyum. Sementara dia cuma ngikik melihat ekspresi saya. Saya memulai membacanya. Dan sampai saat ini pun saya masih hafal dengan kata-katanya. Begini isi surat itu:

Kepada Yth.
Calon istri saya, calon ibu anak-anak saya, calon anak Ibu saya, dan calon kakak buat adik-adik saya
di Tempat

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Mohon maaf kalau Anda tidak berkenan. Tapi saya mohon bacalah surat ini hingga akhir, baru kemudian silahkan dibuang atau dibakar. Tapi saya mohon, bacalah dulu sampai selesai.

Saya, yang bernama …… menginginkan Anda …… untuk menjadi istri saya. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya manusia biasa. Saat ini saya punya pekerjaan. Tapi saya tidak tahu apakah nanti saya akan tetap punya pekerjaan. Tapi yang pasti saya akan berusaha punya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anakku kelak. Saya memang masih kontrak rumah. Dan saya tidak tahu apakah nanti akan ngontrak selamannya. Yang pasti, saya akan selalu berusaha agar istri dan anak-anak saya tidak kepanasan dan tidak kehujanan.

Saya hanyalah manusia biasa, yang punya banyak kelemahan dan beberapa kelebihan. Saya menginginkan Anda untuk mendampingi saya untuk menutupi kelemahan saya dan mengendalikan kelebihan saya. Saya hanya manusia biasa. Cinta saya juga biasa saja. Karena itu, saya menginginkan Anda mau membantu saya memupuk dan merawat cinta ini agar menjadi luar biasa. Saya tidak tahu, apakah kita nanti dapat bersama-sama sampai mati karena saya tidak tahu suratan jodoh saya. Yang pasti, saya akan berusaha sekuat tenaga menjadi suami dan ayah yang baik.

Kenapa saya memilih Anda? Sampai saat ini, saya tidak tahu kenapa saya memilih Anda. Saya sudah sholat istiqaroh berkali-kali, dan saya semakin mantap memilih Anda. Yang saya tahu, saya memilih Anda karena Allah. Dan yang pasti, saya menikah untuk menyempurnakan agama saya, juga sunnah Rasulullah.

Saya tidak berani menjanjikan apa-apa. Saya hanya berusaha sekuat mungkin menjadi lebih baik dari saat ini. Saya mohon, sholat istiqaroh dulu sebelum memberi jawaban pada saya. Saya kasih waktu minimal satu minggu, maksimal satu bulan. Semoga Allah ridho dengan jalan yang kita tempuh ini. Amin..

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Saya memandang surat itu lama. Berkali-kali saya membacanya. Baru kali ini saya membaca surat 'lamaran' yang begitu indah: sederhana, jujur dan realistis. Tanpa janji-janji gombal dan kata yang berbunga-bunga. Surat cinta minimalis, saya menyebutnya. Saya menatap sahabat di samping saya. Dia menatap saya dengan senyum tertahan.

"Kenapa kamu memilih dia?" tanyaku lagi.
"Karena dia manusia biasa," jawabnya mantap. "Dia sadar bahwa dia manusia biasa. Dia masih punya Allah yang mengatur hidupnya. Yang aku tahu, dia akan selalu berusaha, tapi dia tidak menjanjikan apa-apa. Soalnya dia tidak tahu, apa yang akan terjadi pada kita di kemudian hari. Entah kenapa, itu justru memberikan kenyamanan tersendiri buat aku."

"Maksudnya?" aku bertanya penuh selidik.
"Dunia ini fana. Apa yang kita punya hari ini belum tentu besok masih ada. Iya kan? Paling gak, aku tau bahwa dia gak bakal frustasi kalau suatu saat nanti kita jadi gembel. Hahaha," katanya sambil tertawa.
"Ssttt…" Saya membekap mulutnya, khawatir ada yang tahu kalau kita belum tidur. Terdiam kita memasang telinga. Sunyi. Suara jengkrik terdengar nyaring di luar tembok. Kita saling berpandangan lalu cekikikan sambil menutup mulut masing-masing. .
"Udah tidur. Besok kamu kucel, ntar aku yang dimarahin Mama," kataku.
Kita kembali rebahan. Tapi mata ini tidak bisa terpejam. Percakapan kita tadi masih terngiang terus ditelinga saya.
"Gik…" dia memanggil lirih.
"Tidur.. dah malam," saya menjawab tanpa menoleh padanya. Saya ingin dia tidur agar dia terlihat cantik besok pagi. Kantuk saya hilang sudah. Kayaknya saya tidak bakal tidur semalaman ini.
****

Satu lagi pelajaran pernikahan saya peroleh hari itu. Ketika manusia sadar dengan kemanusiannya, ia sadar bahwa ada hal lain yang mengatur segala kehidupannya. Begitu pun dengan sebuah pernikahan. Suratan jodoh sudah tergores sejak ruh ditiupkan dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana dan berapa lama pernikahannya kelak. Lalu menjadikan proses menuju pernikahan bukanlah sebagai beban, tapi sebuah 'proses usaha'. Betapa indah bila proses menuju pernikahan mengabaikan harta, tahta dan 'nama'. Embel-embel predikat diri yang selama ini melekat ditanggalkan.
Ketika itu, segala yang 'melekat' pada diri bukanlah dijadikan pertimbangan yang utama. Pernikahan hanya dilandasi karena Allah semata, diniatkan untuk ibadah, menyerahkan secara total pada Allah yang membuat skenarionya, maka semua menjadi indah. Hanya Allah yang mampu menggerakkan hati setiap umat-Nya. Hanya Allah yang mampu memudahkan segala urusan. Hanya Allah yang mampu menyegerakan sebuah pernikahan. Kita hanya bisa memohon keridhoan Allah, meminta-Nya mengucurkan barokah dalam sebuah pernikahan. Hanya Allah jua yang akan menjaga ketenangan dan kemantapan untuk menikah. Lalu, bagaimana dengan cinta? Ibu saya pernah bilang, "Cinta itu proses. Proses dari ada, menjadi hadir, lalu tumbuh, kemudian merawatnya agar cinta itu bisa bersemi dengan indah menaungi dua insan dalam pernikahan yang suci."
Witing tresno jalaran garwo (sigaraning nyowo). Kalau diterjemahkan secara bebas: Cinta tumbuh karena suami/istri (belahan jiwa). Cinta paling halal dan suci. Cinta dua manusia biasa yang berusaha menggabungkannya agar menjadi cinta yang luar biasa. Namun, sejak membaca cerita ini hingga blog ini kuposting, ada satu pertanyaan besar yang hinggap di kepalaku, yakni: "Seberapa banyak lagi wanita yang berpikiran seperti wanita dalam cerita di atas?" Wallahu a'lam bis shawab


keyword: cerita, cerita dewasa, cerita panas, baladas, stories

5 comments:

  1. wah... mantaf tenan 'San... paragraf terakhirnya tu yang keren habis...

    ReplyDelete
  2. boleh ya....copy paste di blog..kiks kiks

    ReplyDelete
  3. bismillah, mohon izin Ceritanya ana link ke my Blog. Thanks

    ReplyDelete
  4. waw.... fantastic...! :)

    ReplyDelete